Selasa, 01 Maret 2011

Artikel Negara menurut Montesquieu

“Hukum yang baik adalah hukum yang melindungi berbagai kepentingan umum. Sedangkan tanda dari suatu masyarakat yang bebas ialah semua orang dimungkinkan untuk mengikuti kecenderungan mereka sendiri sepanjang mereka tidak melanggar hukum.” Montesquieu
Adalah Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf besar Perancis yang pertama-tama meletakkan dasar-dasar rasionalitas bagi ilmu pengetahuan modern. Je pense donc je suis (saya berpikir karena itu saya ada), tak pelak lagi telah menjadi ucapan Descartes termashur yang menandai gradasi akal budi manusia pada status yang paling tinggi. Di sini seolah-olah Descartes ingin mengantitesis metanarasi yang telah menjadi stereotip pada jamannya. Pada masa itu metanarasi dominan yang berasal dari petuah gereja dan tuah sang raja telah menjadi begitu agung untuk dikritisi kembali. Sehingga boleh dikata bahwa akal budi manusia pada masa itu tersubordinasi di bawah kebenaran koalisi pendeta dan sang raja yang harus dianggap bermisi absolut.

Descartes memang bukan seorang pemikir mengenai politik, hukum dan kenegaraan. Namun bagaimanapun rasionalitas yang diintrodusirnya melalui “Discourse de la Methode" telah mempengaruhi pemikir politik, hukum dan ketatanegaraan Perancis, yaitu: Charles de Secondat de la Brede et de Montesquieu (1689-1755). Rasionalitas begitu tampak dalam karya Montesquieu, Les Lettres Persanes (Surat-surat dari Persia). Di dalamnya ia tidak saja mengkritisi kondisi social dan politik di Perancis, tetapi ia pun secara tajam mengkritik praktek irrasional agama di negerinya. Disamping mengarang Les Grandeur et Decadence des Romains (Kemashuran dan Kehancuran Romawi), maka karya terakhirnya L’Esprit des Lois (Jiwa Undang-Undang) sering dikategorikan sebagai masterpiece dari Montesquieu.
Sebagaimana John Locke dari Inggris dan para sarjana sejaman, pemikiran Montesquieu pun masih dipengaruhi oleh ajaran hukum alam. Namun berbeda dari Locke yang memiliki konsep abstrak, karena teori-teorinya dibangun dari pemikiran kontemplatif belaka, Montesquieu justru lebih rasional dan empiris, karena teori-teorinya dalam L’Esprit des Lois banyak dibentuk dari realitas empiris yang terjadi sampai pada masa itu. Dalam karyanya itu Montesquieu mengeksplanasi kejadian-kejadian dalam sejarah sosial yang ada untuk kemudian menemukan di dalamnya jiwa Undang-Undang. Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa pada L’Esprit des Lois ini, ia lebih berpretensi sebagai seorang sejarawan ketimbang filsuf politik.
L’Esprit des Lois sebenarnya merupakan sebuah buku yang tebal. Disebutkan oleh R Haryono Imam dalam pengantar buku “Membatasi Kekuasaan; Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang", bahwa edisi lengkap L’Esprit des Lois terdiri dari tigapuluh satu buku, yang dalam edisi-edisi tertentu kemudian dibagi menjadi enam bagian. Bagian pertama, berkaitan dengan hukum pada umumnya dan bentuk-bentuk pemerintahan. Bagian kedua, mengenai pengaturan militer, pajak dan sebagainya. Bagian ketiga, berkaitan dengan adat kebiasaan dan ketergantungan adat kebiasaan pada kondisi iklim. Bagian keempat, membahas masalah ekonomi. Bagian kelima, dengan agama. Terakhir bagian keenam, semacam suplemen yang membahas hukum Romawi, Perancis dan gaya feodal
.
Yang terutama dapat diperhatikan dalam buku “Membatasi Kekuasaan" adalah beberapa hal menyangkut tema hukum. Tentang definisi hukum, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dan limitatif, bahkan terkesan ambigu, tetaplah dapat ditarik suatu obyektifikasi dengan mengumpulkan seluruh pengertian yang digunakan dalam buku ini. Secara umum hukum digunakan untuk menunjuk hak-hak dan kewajiban yang dilindungi atau diberlakukan oleh pengadilan serta pada aturan-aturan dasar yang harus diikuti oleh mereka yang menjalankan kekuasaan.

Dengan bekal kepercayaan bahwa cara untuk mempelajari hukum adalah mengamati berbagai sistem perundang-undangan yang ada dan diberlakukan di berbagai negara, Montesquieu menerangkan raison d’etre hukum. Baginya hak-hak positif warga negara tidak dimiliki secara apriori semata, yaitu pengakuan formal atas hak-hak kodrati manusia, tetapi yang penting adalah melakukan verifikasi actual atas situasi dimana manusia hidup.

Pendekatan empiris dipertahankan pula dalam menjelaskan tentang kebebasan. Tidak seperti fisuf dan pemikir lain sejamannya., Montesquieu tidak memulai perhatiannya dengan mengajukan konsep-konsep umum yang abstrak. Menurutnya, kebebasan berakar dalam tanah. Diartikan bahwa kebebasan lebih mudah dipertahankan dengan dua prasyarat pokok, yaitu keadaan geografis negara dan ketentraman yang timbul dari keamanan. Prasyarat terakhir menghendaki perundang-undangan menetapkan batas-batas kekuasaan negara serta adanya jaminan hak-hak individu di dalam hukum.

Berkaitan dengan tema kebebasan ini, Montesquieu memberikan batasan yang penting bagi terpeliharanya kebebasan itu sendiri, yaitu pembatasan dengan hukum. Hukum yang baik adalah hukum yang melindungi berbagai kepentingan umum. Sedangkan tanda dari suatu masyarakat yang bebas ialah semua orang dimungkinkan untuk mengikuti kecenderungan mereka sendiri sepanjang mereka tidak melanggar hukum.

Suatu sistem hukum muncul menurut Montesquieu sebagai hasil kombinasi dari hakikat dan prinsip-prinsip pemerintahan tertentu. Apa yang disebut hakikat pemerintahan adalah isi yang membentuk pemerintahan (struktur khusus atau khas dari pemerintahan). Sedangkan prinsip adalah cara bertindak atau hasrat manusia yang menggerakkan pemerintahan. Hakikat pemerintahan ada tiga jenis, yaitu republic, monarki dan despotis (sewenang-wenang). Republik dipecah menjadi dua. Apabila lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi disebut demokrasi. Apabila kekuasaan tertinggi berada di tangan sebagian rakyat disebut aristokrasi. Untuk Negara republik, prinsip pemerintahan yang mutlak diperlukan adalah keutamaan. Untuk monarki dikehendaki ilham dari prinsip kehormatan. Dan dalam pemerintahan despotis diperlukan prinsip rasa takut (prinsip bahwa rakyat harus takut terhadap penguasa).

Dari kombinasi tersebut dapat diterangkan kemudian tentang rusaknya suatu pemerintahan. Rusaknya setiap pemerintahan pada umumnya dimulai dengan rusaknya prinsip-prinsipnya . Prinsip demokrasi menjadi rusak bukan hanya ketika semangat persamaan padam; tetapi juga ketika rakyat jatuh ke dalam semangat persamaan yang ekstrim dan ketika setiap warga negara merasa senang setingkat dengan mereka yang telah dipilihnya untuk memerintah. Aristokrasi rusak apabila kekuasaan para bangsawan menjadi sewenang-wenang. Monarki bobrok ketika kekuasaan dirampas oleh seorang yang egois, narsistis dan menyalahgunakan wewenangnya, situasinya serta cintanya pada rakyat. Sistem pemerintahan despotis hancur oleh ketidaksempurnaan yang melekat di dalam dirinya, karena kodratnya sebagai suatu prinsip yang korup.

Oleh karena itu menurut Montesquieu perlu adanya pembatasan kekuasaan. Untuk membatasi kekuasaan hanya dapat dilakukan dengan kekuasaan juga, sehingga timbullah ide bahwa dalam sebuah Negara, kekuasaan harus dipisahkan. Paling tidak dalam tiga komponen, yakni Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Secara keseluruhan penerjemahan karya Montesquieu ini ke dalam bahasa Indonesia, dari edisi bahasa Inggrisnya “The Spirit of The Laws", cukup memberikan kemudahan bagi para peminat masalah politik, hukum dan ketatanegaraan untuk menangkap simbol-simbol ide dan pemikiran Montesquieu. Hanya saja istilah-istilah kunci yang terdapat dalam karya ini, antara lain misalnya definisi hukum, prinsip keutamaan, kehormatan, dan ketakutan tidak diusahakan batas-batasnya secara jelas dan terperinci. Orang-orang yang tidak terbiasa dengan gaya penulisan seperti ini mungkin akan merasa terganggu.

Terlepas dari segala kekurangannya, dan sejalan dengan tujuan Yayasan Karti Sarana menerbitkan terjemahan ini, buku ini dapat memprakarsai tipe-tipe baru penelitian ilmiah untuk memahami akar-akar budaya dari fenomen-fenomen dalam masyarakat Indonesia yang tidak dapat dijelaskan dengan metode penelitian konvensional. Di samping itu buku ini harus diakui dapat merangsang dialog budaya antara pelbagai kelompok yang berbeda dalam penghayatan religius pada masyarakat Indonesia, sehingga tercipta komitmen bersama atas seperangkat nilai kemanusiaan. Singkatnya, penerbitan buku “Membatasi Kekuasaan" merupakan upaya yang patut disambut baik. Apalagi seperti diketahui, buku aslinya pun (L’Esprit des Lois) adalah sebuah karya besar yang teori-teori didalamnya telah banyak memberi inspirasi kepada para ilmuwan maupun praktisi politik di seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar