Selasa, 01 Maret 2011

Artikel Tentang Bangsa (bipartai)

Pesta Demokrasi di Indonesia


Sejak era reformasi, pemilu benar-benar menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia. Rakyat bisa memilih partai politik (parpol) mana saja sesuai keinginannya, terlepas dari jenis pekerjaan yang ia geluti. Tidak ada lagi peleburan parpol-parpol secara paksa. Tidak ada lagi anjuran berbau paksaan untuk mencoblos parpol tertentu. Tidak ada lagi hambatan berarti dalam pembentukan parpol baru.

Hal terakhir inilah yang hendak saya bahas. Saya menemukan sebuah link di RepublikBabi yang memuat daftar 87 parpol baru yang INGIN bertarung di ajang pemilu 2009 nanti. Mengerikan. Komisi Pemilihan Umum menyebutkan bahwa ada 53 parpol baru yang lolos verifikasi faktual. Jika jumlah ini ditambahkan dengan 16 parpol yang memiliki kursi di parlemen, berarti ada 69 parpol yang AKAN bertarung tahun depan. Wow!!


Sebenarnya apa itu parpol? Saya mendefinisikannya sebagai sebuah organisasi politik yang menominasikan kandidat untuk duduk di parlemen dan merepresentasikan sejumlah prinsip dan ideologi khusus yang diusung oleh mayoritas anggotanya. Perhatikan bagian yang saya tebalkan. Wah, berarti banyak sekali ya prinsip dan ideologi yang ada di Indonesia ini sampai-sampai banyak sekali parpol-parpol baru bermunculan.
Jika anda berpikir demikian, anda salah. Saya memang belum berhasil menemukan data lengkap mengenai prinsip dan ideologi yang diusung parpol-parpol baru tersebut. Namun, jika melihat parpol peserta pemilu 1999 dan 2004, saya hanya menemukan beberapa prinsip dan ideologi saja, seperti Pancasila, Islam, dan Marhaenisme.

Saya berpendapat bahwa pembentukan parpol haruslah merupakan respon dari celah politik yang ada dalam masyarakat. Nah, dengan memanfaatkan celah politik tersebut, parpol dapat menggunakan perbedaan prinsip dan ideologi antar parpol untuk memecahkan masalah tersebut. Beberapa contoh celah politik yang dapat saya pikirkan adalah:
  • Agama. Di beberapa negara Eropa ada Christian Party. Hal ini juga kita temukan di Indonesia, dimana ada partai Islam dan Kristen. Celah ini bukan hanya ada di antara dua agama, melainkan antara kalangan religius vs. non-religius. Misal, Alliance of Young Democrats (FIDESZ) vs. Hungarian Socialist Party (MSZP).
  • Etnis/Bahasa. Celah ini mungkin tidak ditemukan di Indonesia, walaupun pada skala regional ditemukan partai GAM. Partai yang dibentuk merespon pada ketegangan antara etnis mayoritas vs. minoritas di suatu negara, misalnya Basque Party di Spanyol, Bavarian Party di Jerman, Hungarian Minorities Party di Romania dan Slovakia, dan Swedish Minorities Party di Finlandia. Beberapa parpol anti-imigran saya rasa bisa dimasukkan ke sini, seperti Swiss People Party, Front National di Perancis, dan Lijst Pim Fortuyn di Belanda.
  • Kelas sosial. Mungkinkan partai buruh masuk ke kategori ini? Entahlah. Di Indonesia sendiri ada partai buruh pada pemilu 2004. Biasanya partai di kategori ini berafiliasi dengan serikat pekerja.
  • Single Issue. Dari Eropa, Amerika, Afrika, sampai beberapa negara di Asia kita bisa menemukan Green Party yang jelas mengusung kampanye cinta lingkungan. Di Hongaria sempat ada partai historis Independent Small Holders yang berusaha melindungi kegiatan pertanian. Di Polandia ada National Party of Retirees and Pensioners yang melindungi para pensiunan. Yang lebih konyol lagi, di Polandia ada Polish Beer Lovers’ Party yang berusaha mempromosikan minum bir dan menghindari vodka demi mencegah alcoholism.  Di Indonesia tidak ditemukan parpol yang mengusung single issue.
Lantas, kalau ideologi dan prinsipnya sama saja, kenapa harus bikin banyak parpol? Bukankah lebih gampang menyatukan parpol-parpol yang serupa sehingga kesempatan meraih kursi dan merepresentasikan ideologi dan prinsipnya di parlemen?

Salah satu tahap perkembangan parpol di Eropa adalah mass party. Sifat dari mass party adalah jumlah keanggotaan yang besar dan mewakili kelompok sosial yang sejenis. Cocok bukan? Dana yang bisa diperoleh gabungan parpol akan lebih banyak lagi, dan lebih besar kemungkinan untuk duduk di parlemen.
Atau, parpol dibentuk semata-mata demi memperkaya kantong sendiri? Kita tahu bahwa jumlah sumbangan dari badan usaha dan perseorangan yang boleh diberikan ke satu parpol meningkat 20 kali lipat dari pemilu sebelumnya. Selain itu, rencana pemberian subsidi dari APBN setiap tahunnya Rp.1.000 bagi satu suara yang diperoleh satu parpol juga sangat menggiurkan. Bayangkan, apabila satu parpol memperoleh 10 juta suara, sepanjang parpol itu memperoleh kursi di parlemen, 10 milyar rupiah bisa diraup. Gaji per bulan dan segala fasilitas yang diberikan bagi para anggota parlemen pun sangat menggiurkan dan menjadi semacam insentif negatif bagi pembentukan parpol baru. Konklusinya, pembentukan parpol di Indonesia sama sekali tidak mencerminkan celah politik domestik. Apa pendapat anda?

Efek negatif dari kondisi yang dalam tipologi Sartori ini dinamakan extreme pluralism ini jelas ketidakstabilan dalam jalannya pemerintahan. Contoh nyata, Italia yang sudah lebih dari 40 kali membentuk kabinet baru sejak Perang Dunia 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar